SUNAT
Pengertian Khitan
Sunat (bahasa Ogan) adalah Khitan (tetakan, Jawa) adalah memotong dan menghilangkan kuluf (qulfah, bahasa Arab), praeputium (latin), dimana dengan pengertian lain adalah memotong kuluf (kulit) di atas kepala zakar. (Zuhdi, 1987 : 69)
Sunat (bahasa Ogan) adalah Khitan (tetakan, Jawa) adalah memotong dan menghilangkan kuluf (qulfah, bahasa Arab), praeputium (latin), dimana dengan pengertian lain adalah memotong kuluf (kulit) di atas kepala zakar. (Zuhdi, 1987 : 69)
Menurut istilah (terminologi) khitan adalah memotong kulit yang berada di sekitar ujung zakar atau batas pergelangan zakar yang sudah ditentukan oleh hukum syara’, sebagaimana Imam Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i meriwayatkandari Nabi SAW “Jika bertemu
dua khitanan, maka wajiblah mandi.” (HR. Thabrani,
Nashih Ulwan, 1992 : 86)
Pengertian
lain dari khitan adalah memotong kulit yang menutup ujung
kemaluan untuk menjaga agar di sana tidak berkumpul kotoran, juga
agar dapat menahan kencing dan supaya tidak mengurangi kenikmatan dalam
bersenggama. (Sabiq, 1994 : 74).
“Jika bertemu
dua khitan (bertemunya dua kelamin) maka wajiblah mandi,baik keluar
mani atau tidak.” (Ibid).
Berkhitan
adalah mengikuti millah Ibrahim AS., dimana kita sebagai umat
Muhammad telah diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim tersebut. “Dan tidak ada
yang benci kepada millah Ibrahim melainkan orang yang memperbodohi dirinya
sendiri.” (Qs. Al-Baqarah : 130)
Ditegaskan bahwa anak-anak yang
kedua orang tuanya beragama Islam (muslim) dihukumkan pula atasnya, tidak perlu
di-Islamkan lagi, sebagaimana firman Allah “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka ….”(Qs. At-Thuur :
21)
Dengan dalil di atas dapat kita
ketahui bahwa mengikuti millah Ibrahim adalah pekerjaan atau amalan
Nabi Ibrahim AS, yang kemudian diteruskan oleh anak cucunya (kaum Yahudi
dari anak-anak Nabi Ishaq AS.) dan
umat Islam (Nabi Muhammad SAW. Dari keturunan Nabi Ismail). Adapun
penghapusan khitan pada anak laki-laki oleh umat Kristen diberlakukan oleh
Paulus, bukan oleh Nabi Isa AS. Karena
sesungguhnya Nabi Isa sendiri dikhitan.
“Telah bersabda Rosulullah SAW, Ibrahim al-Khalil itu
berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan dia berkhitan itu dengan atau Al-Qadum
(kapak atau suatu negeri di kota Syam.” (HR.
Bukhori, Sabiq-1, Loc. Cit : 74)
Kemudian
mengenai ketentuan melakukan khitan, dapat dilaksanakan pada saat anak berusia
tujuh hari setelah kelahirannya sampai menjelang dewasa. Dengan catatan apabila sang anak telah
memasuki usia dewasa (baligh) dia telah berada dalam keadaan
berkhitan, agar supaya ibadahnya dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai
dengan tuntunan Islam, sesuai dengan petunjuk dan wasiat Rosul dalam mendidik
anak, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Anas Ra.
“Anak itu diaqiqahi pada hari ketujuh (dari
kelahirannya), dinamai dan disingkirkan dari padanya penyakit (digunting
rambutnya). Jika sudah berusia 6 tahun
didiklah. Jika sudah berusia 9 tahun
pisahkan tempat tidurnya. Jika sudah
berumur 13 tahun pukullah bila dia enggan melakukan sholat dan puasa. Jika sudah berusia 16 tahun hendaknya ayahnya
mengawinkannya.” (Nashih Ulwan, Loc.Cit : 174).
Dasar Hukum Khitan
Dasar
hukum tentang khitan sampai kini masih menjadi perdebatan
mengenai hukum wajib atau sunnah-nya, baik untuk laki-laki maupun
perempuan. Akan tetapi dasar tentang
perintah khitan ini disandarkan dengan dasar kaidah fiqh, yaitu “sesuatu
perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya
perbuatan-perbuatan lain sebelumnya atau alat-alat untuk mewujudkan yang
diperintah itu.”
“Memerintahkan
sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh perantaraan-perantaraannya.” (Hanafie, 1962 : 39)
Seseorang akan mengerjakan sholat maka dia harus bersuci dari najis yang melekat pada pakaian, badan serta tempat, sebelumnya harus pula bersuci dari hadats dan mandi, wudhu dan tayamum. Dengan kata lain, seseorang yang akan melakukan sholat haruslah memenuhi syarat bersuci (toharoh), sementara bagi mereka yang belum dikhitan, melaksanakan toharoh adalah merupakan hal yang sulit, lama dan diragukan kebersihannya.
“Menghindari
mudorrat harus didahulukan atas mashlahat (kebaikan).”(Zuhdi,
Loc.Cit : 152).
Bagi
Laki-laki
Dalam
Islam khitan untuk anak laki-laki adalah merupakan sunnah. Landasannya Imam Hasan Bashri, Abu Hanifah
dan sebagian pengikut Hambali mengambil dasar dari hadits riwayat Imam Ahmad
dari Syidad bin Aus.“Khitan
itu sunnah bagi laki-laki dan terhormat bagi perempuan.” (Nashih,
Loc. Cit : 87)
Bagi Perempuan
Berdasarkan
hadits yang mengatakan khitan itu sunnah bagi laki-laki dan terhormat bagi
perempuan berarti khitan tidak merupakan hal yang wajib bagi perempuan.
Adapun hadits yang
memerintahkan khitan bagi perempuan adalah doif (Sabiq, Loc.
Cit : 74). Secara agamais, etis
dan medis tidak ada faktor yang dapat dijadikan alasan untuk mengharuskan
khitan perempuan. Alasan moral : bahwa khitan bagian luar (externa genital)
pada wanita dianggap akan menenangkan nafsu seksual wanita dan membantu para
gadis untuk tidak mudah mengalah pada kehendak nafsu seksualnya, terutama yang
bertegangan tinggi. Ini dianggap Hassan
Hathout (1986 : 89) berlebihan.
Karena nafsu seks itu ditimbulkan oleh mekanisme psikologis dan
hormonal. Malah akibatnya justru mengganggu proses hubungan seksualnya (seksologi) karena menghambat atau memperlambat rasa
nikmat dalam hubungan seks.
Kaidah
hukum Fiqh mengatakan “Membuat orang sakit masih hidup tidak boleh,
kecuali ada kebaikan padanya melebihi rasa sakitnya itu kemudian.” (Zuhdi :
174).
Walaupun ada hadits yang mengajarkan khitan
perempuan, tetapi dokter masih ragu menentukan kulit mana yang harus dipotong
sesungguhnya? Pada dasarnya pertumbuhan
penis dan clitoris sama asalnya dan malah sama pula bentuknya, tetapi clitoris
jauh lebih kecil sehingga sukar untuk dipotong.
Jadi jelasnya, khitan bagi perempuan tidak wajib dan secara
operatif sulit untuk melaksanakannya. (Ali Akbar : 75).
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar