Jumat, 21 November 2014

SUNAT

Pengertian Khitan
 
Sunat (bahasa Ogan) adalah Khitan (tetakan, Jawa) adalah memotong dan menghilangkan kuluf (qulfah, bahasa Arab), praeputium (latin), dimana dengan pengertian lain adalah memotong kuluf (kulit) di atas kepala zakar. (Zuhdi, 1987 : 69) 

Menurut istilah (terminologi) khitan adalah memotong kulit yang berada di sekitar ujung zakar atau batas pergelangan zakar yang sudah ditentukan oleh hukum syara’, sebagaimana Imam Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i meriwayatkandari Nabi SAW Jika bertemu dua khitanan, maka wajiblah mandi.” (HR. Thabrani, Nashih Ulwan, 1992 : 86)  
Pengertian lain dari khitan adalah memotong kulit yang menutup ujung kemaluan untuk menjaga agar di sana tidak berkumpul kotoran, juga agar dapat menahan kencing dan supaya tidak mengurangi kenikmatan dalam bersenggama. (Sabiq, 1994 : 74).

Jika bertemu dua khitan (bertemunya dua kelamin) maka wajiblah mandi,baik keluar mani atau tidak.” (Ibid).





Berkhitan adalah mengikuti millah Ibrahim AS., dimana kita sebagai umat Muhammad telah diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim tersebut. “Dan tidak ada yang benci kepada millah Ibrahim melainkan orang yang memperbodohi dirinya sendiri.” (Qs. Al-Baqarah : 130)

Ditegaskan bahwa anak-anak yang kedua orang tuanya beragama Islam (muslim) dihukumkan pula atasnya, tidak perlu di-Islamkan lagi, sebagaimana firman Allah “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ….”(Qs. At-Thuur : 21)

Dengan dalil di atas dapat kita ketahui bahwa mengikuti millah Ibrahim adalah pekerjaan atau amalan Nabi Ibrahim AS, yang kemudian diteruskan oleh anak cucunya (kaum Yahudi dari anak-anak Nabi Ishaq AS.)  dan umat Islam (Nabi Muhammad SAW. Dari keturunan Nabi Ismail). Adapun penghapusan khitan pada anak laki-laki oleh umat Kristen diberlakukan oleh Paulus, bukan oleh Nabi Isa AS.  Karena sesungguhnya Nabi Isa sendiri dikhitan.

“Telah bersabda Rosulullah SAW, Ibrahim al-Khalil itu berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan dia berkhitan itu dengan atau Al-Qadum (kapak atau suatu negeri di kota Syam.” (HR. Bukhori, Sabiq-1, Loc. Cit : 74)

Kemudian mengenai ketentuan melakukan khitan, dapat dilaksanakan pada saat anak berusia tujuh hari setelah kelahirannya sampai menjelang dewasa.  Dengan catatan apabila sang anak telah memasuki usia dewasa (baligh) dia telah berada dalam keadaan berkhitan, agar supaya ibadahnya dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Islam, sesuai dengan petunjuk dan wasiat Rosul dalam mendidik anak, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Anas Ra.

“Anak itu diaqiqahi pada hari ketujuh (dari kelahirannya), dinamai dan disingkirkan dari padanya penyakit (digunting rambutnya).  Jika sudah berusia 6 tahun didiklah.  Jika sudah berusia 9 tahun pisahkan tempat tidurnya.  Jika sudah berumur 13 tahun pukullah bila dia enggan melakukan sholat dan puasa.  Jika sudah berusia 16 tahun hendaknya ayahnya mengawinkannya.” (Nashih Ulwan, Loc.Cit : 174).

Dasar Hukum Khitan

Dasar hukum tentang khitan sampai kini masih menjadi perdebatan mengenai hukum wajib atau sunnah-nya, baik untuk laki-laki maupun perempuan.  Akan tetapi dasar tentang perintah khitan ini disandarkan dengan dasar kaidah fiqh, yaitu “sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perbuatan-perbuatan lain sebelumnya atau alat-alat untuk mewujudkan yang diperintah itu.”

Memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh perantaraan-perantaraannya.”  (Hanafie, 1962 : 39)
Seseorang akan mengerjakan sholat maka dia harus bersuci dari najis yang melekat pada pakaian, badan serta tempat, sebelumnya harus pula bersuci dari hadats dan mandi, wudhu dan tayamum. Dengan kata lain, seseorang yang akan melakukan sholat haruslah memenuhi syarat bersuci (toharoh), sementara bagi mereka yang belum dikhitan, melaksanakan toharoh adalah merupakan hal yang sulit, lama dan diragukan kebersihannya.

Menghindari mudorrat harus didahulukan atas mashlahat (kebaikan).”(Zuhdi, Loc.Cit : 152).

Bagi Laki-laki  
Dalam Islam khitan untuk anak laki-laki adalah merupakan sunnah. Landasannya Imam Hasan Bashri, Abu Hanifah dan sebagian pengikut Hambali mengambil dasar dari hadits riwayat Imam Ahmad dari Syidad bin Aus.Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan terhormat bagi perempuan.” (Nashih, Loc. Cit : 87)  

Kemudian berdasarkan pertimbangan manfaat dan kebaikan-kebaikan berkhitan, baik bagi diri pribadi maupun untuk kemashlahatan orang lain (isterinya),  maka Islam dapat mengharuskan (wajib) khitan bagi laki-laki. (Zuhdi, Loc.Cit : 175).
 
Bagi Perempuan
 
Berdasarkan hadits yang mengatakan khitan itu sunnah bagi laki-laki dan terhormat bagi perempuan berarti khitan tidak merupakan hal yang wajib bagi perempuan.
Adapun hadits yang memerintahkan khitan bagi perempuan adalah doif (Sabiq, Loc. Cit : 74). Secara agamais, etis dan medis tidak ada faktor yang dapat dijadikan alasan untuk mengharuskan khitan perempuan. Alasan moral :  bahwa khitan bagian luar (externa genital) pada wanita dianggap akan menenangkan nafsu seksual wanita dan membantu para gadis untuk tidak mudah mengalah pada kehendak nafsu seksualnya, terutama yang bertegangan tinggi.  Ini dianggap Hassan Hathout (1986 : 89) berlebihan.  Karena nafsu seks itu ditimbulkan oleh mekanisme psikologis dan hormonal. Malah akibatnya justru mengganggu proses hubungan seksualnya (seksologi)  karena menghambat atau memperlambat rasa nikmat dalam hubungan seks.

Kaidah hukum Fiqh mengatakan “Membuat orang sakit masih hidup tidak boleh, kecuali ada kebaikan padanya melebihi rasa sakitnya itu kemudian.” (Zuhdi : 174).
 
Walaupun ada hadits yang mengajarkan khitan perempuan, tetapi dokter masih ragu menentukan kulit mana yang harus dipotong sesungguhnya?  Pada dasarnya pertumbuhan penis dan clitoris sama asalnya dan malah sama pula bentuknya, tetapi clitoris jauh lebih kecil sehingga sukar untuk dipotong.  Jadi jelasnya, khitan bagi perempuan tidak wajib dan secara operatif sulit untuk melaksanakannya. (Ali Akbar : 75).
 
Wallahu a'lam